Sepasang Kaos Kaki Hitam
[SK2H]
Ariadi Ginting
untuk secangkir teh hangat di pagi hari
dan kenangan yg selalu menyertainya...
PERNAHKAH di suatu pagi yg cerah kalian
duduk berselimutkan cahaya mentari, ditemani
secangkir teh hangat tawar, lalu mendadak saja
teh yg kalian minum terasa manis?
Gw pernah.
Dan kalian tahu? Kadang kenangan itu
seperti asap tipis yg menguap dari cangkir teh .
Dia nyaris tak terlihat, sangat sulit untuk
ditangkap, tapi kita tetap bisa merasakan
kehangatannya. Bahkan saat dia terurai bersama
angin musim gugur yg meniupkan helai demi
helai daun momiji dari pucuk merahnya.
Mendekatlah, dan dengarkan setiap kata
yg keluar dari mulut ini. Mendekatlah, karena gw
akan mendongengkan kepada kalian sebuah
kenangan tentang secangkir teh hangat di pagi
hari. Mungkin juga akan gw selipkan bait terakhir
Endless Love yg sudah ribuan kali gw nyanyikan.
Ah, matahari sudah menjemput pagi
rupanya. Sudah waktunya bercerita.
Terimakasih pada angka sembilan dalam
kalender yg menjadi awal dari kisah panjang ini...
Ariadi Ginting
di suatu pagi yg cerah
BAGIAN 1
SEPTEMBER tahun 2000...
Gw pergi jauh dari kota kelahiran gw di
Kalimantan untuk mengadu nasib di Jawa.
Sebenarnya impian gw adalah kerja di Jakarta,
tapi karena surat panggilan yg gw terima
beberapa hari yg lalu adalah panggilan dari
sebuah perusahaan di Karawang, mau nggak
mau gw terdampar di kota panas ini.
Kalau boleh jujur, Karawang bukanlah
tempat yg gw idam-idamkan untuk gw tinggali.
Selain panasnya yg menyengat, gw lebih suka
ada di keramaian ibu kota. Kalau saja bukan
karena nyokap yg mendorong buat nerima
panggilan ini, gw nggak akan bela-belain datang
ke sini. Tapi toh semua itu sudah ada yg
mengatur. Gw yg sempat heran karena merasa
nggak pernah kirim surat lamaran ke perusahaan
yg berdomisili di Karawang, cuma bisa berdoa
semoga ini adalah jalan menuju titik yg gw
inginkan semasa kuliah dulu.
Selama tes berlangsung gw nginep di
sebuah mesjid karena memang di sini gw nggak
punya kenalan ataupun saudara. Setelah ada
keputusan bahwa gw keterima kerja, barulah gw
nyari tempat tinggal. Dengan ditemani seorang
tukang ojek yg gw kenal sewaktu di mesjid, gw
diantar ke sebuah kosan di daerah Teluk Jambe.
Sebuah rumah kosan yg besar dengan banyak
kamar dan terbilang laris. Rata-rata penghuni
kosan ini adalah karyawan yg bekerja di
kawasan industri, tapi ada beberapa juga mahasiswa.
Kosan ini terdiri dari tiga lantai yg masingmasing
lantai punya sekitar sembilan kamar,
kecuali lantai tiga. Cuma ada enam kamar di sini.
Dan karena memang dua lantai di bawah sudah
penuh, gw kebagian di lantai tiga, kamar nomor
23 tepatnya. Kamar paling ujung dalam deret
koridor sebelah kanan. Ada jarak selebar kurang
lebih dua meter, yg memisahkan deret kamar gw
dengan deret kamar seberang. Karena terletak
paling ujung, kamar gw dan kamar di seberang
dihubungkan dengan tembok beranda setinggi
satu meter. Dari sini gw bisa mendapatkan
pemandangan yg cukup alami. Dulu meskipun
panas, Karawang masih punya banyak sawah.
Jadi pemandangan ini lumayan menyejukkan.
Dengan harga sewa seratusribu perbulan, gw
sepakat ngambil kamar ini.
Nampaknya kamar ini sudah lama ditinggal
sejak penghuni terakhirnya. Sangat kotor dan
berdebu. Gw kerja cukup keras buat
membenahinya. Pemilik kosan ini tadi sempat
beres-beres sih, tapi gw masih berasa kurang
aja. Jadi gw putuskan buat kerja bakti lagi. Dan
hari sudah sore ketika gw akhirnya selesai
bersih-bersih.
Buru-buru gw cari makan di warung nasi yg
letaknya nggak jauh dari kosan. Balik dari
warung gw liat pintu kamar seberang gw terbuka.
Gw nggak tertarik dengan pintu itu sampai
seorang wanita muncul dan duduk di depannya.
Berbadan tinggi agak kurus, dengan
hidung mancung dan rambut hitam panjang
tergerai. Wajahnya nggak terlalu kelihatan
karena posisinya yg menunduk sambil memeluk
lutut.
“Sore,” sambil berjalan ke kamar gw
menyapa.
Hening. Nggak ada jawaban.
“Sore Mbak...” dengan sedikit
mengeraskan volume suara.
Dia tetap diam. Tetap terpaku memandang
lantai dengan pandangan kosong. Seolah
mengajak bicara lantai dalam diamnya. Sekilas
nggak ada yg aneh dari wanita ini. Gw cuma
sedikit heran kok dia pakai stoking hitam ya
padahal udara di sini panas.
Gw sempat bermaksud menyapanya sekali
lagi, tapi gw urungkan niat gw. Jangankan jawab
sapaan, sekedar mengangkat kepala pun
enggak. Padahal niat gw kan baik. Sebagai
penghuni baru gw cuma mau mengakrabkan diri.
Tapi ya sudahlah mungkin dia terlalu asyik
dengan lamunannya. Nevermind.
Over all nggak ada yg spesial dari hari
pertama gw di kosan ini. Selain wanita di
seberang kamar, gw belum sempat ngobrol
dengan siapapun. Penghuni kamar sebelah gw
sangat berisik. Nyetel lagu pakai speaker aktif
dengan volume berlebihan sepanjang hari.
Makanya gw sangat bersyukur malamnya mati
lampu. Mendadak kosan jadi sunyi kayak di gua.
Baguslah karena besok pagi gw sudah harus
mulai kerja. Jadi nggak boleh telat bangun.
Tapi sampai hampir tengah malam gw
belum juga bisa tidur. Kayaknya malam jadi
terlalu sunyi gara-gara mati lampu. Nggak
terdengar ribut-ribut orang ngobrol dan aktifitas
lainnya. Bahkan suara detik jam dinding pun
seperti menggema ke seisi kamar.
Gw ingat jam segini biasanya di rumah lagi
ngobrol-ngobrol bareng bokap sambil dengerin
acara radio favoritnya, atau nongkrong di pos
ronda bareng temen-temen. Dengan
keterbatasan alat komunikasi yg ada, ini pertama
kalinya gw merasa benar-benar sendirian. Tanpa
teman ngobrol dan tanpa lagu-lagu yg selalu gw
dengar di radio. Nggak sadar gw jadi senyumsenyum
sendiri. Mungkin udah waktunya ya gw
meninggalkan semua kebiasaan itu, pikir gw
dalam hati.
Malam semakin larut. Gw udah gulinggulingan
di kasur tapi belum juga bisa tidur.
Entah sudah jam berapa waktu itu. Gw sudah
hampir tertidur ketika mendadak terdengar
sesuatu yg aneh dan membuat gw kembali
terjaga. Asalnya dari luar.
Seperti suara tangisan seorang wanita.
Gw duduk dan memasang telinga baikbaik.
Otak pun mulai ngaco, membayangkan
sosok horor yg sering gw baca dari buku misteri
di perpustakaan. Tapi masa sih gw takut sama
sosok yg bahkan belum pernah gw liat seperti
apa bentuknya?
Gw dengarkan lagi baik-baik. Benar, ini
suara tangisan wanita. Tapi siapa sih orangnya
yg tengah malam begini nggak punya kerjaan
banget, pake nangis di depan kamar gw! Bikin
parno. Terlebih waktu gw sadar ternyata suara
tangisannya benar-benar terdengar dekat.
Sangat dekat, di seberang jendela kamar ini.
Makin merinding bulu kuduk gw.
Bergegas gw tiduran dan tarik selimut
sampai menutupi wajah. Suara tangisan itu
belum lenyap juga.
Kayaknya gw salah pilih kosan nih, gw
dalam hati sedikit menyesal. Harusnya gw cari
tau dulu latar belakang kosan ini.
“Please jangan masuk ke sini....” dengan
bodohnya gw berdoa seperti anak kecil.
Dan dalam ketakutan itu perlahan suara
tangisannya mengecil. Makin mengecil sebelum
akhirnya benar-benar lenyap dari telinga gw.
Gw tetap siaga memasang telinga.
Beberapa menit gw tunggu, sampai nggak
terdengar apa-apa lagi. Hufft leganya gw....
Sekitar satu jam setelahnya barulah gw
bisa tidur.
Benar-benar bukan malam pertama yg
menyenangkan...
HARI pertama kerja...
Praktis gw jadi perhatian orang-orang lama
di kantor. Gw masih lumayan kikuk. Untungnya
hari ini cuma dikasih kerjaan ringan. Selain
orientasi ke line produksi tadi pagi, siangnya gw
mulai ngerjain data di meja gw. Sejauh ini sih
rekan kerja di sini cukup bersahabat. Cuma
kebanyakan mereka pake bahasa Sunda yg gw
samasekali nggak ngerti.
Gw lagi di ruangan fotokopi, nunggu kopian
data gw selesai dikopi OB, ketika seorang rekan
kerja menghampiri dan menepuk bahu gw pelan.
Seorang laki-laki item dengan rambut kriwilnya
tersenyum lebar.
“Anak baru ya?” tanyanya sambil
menyerahkan kertas kopian dia ke OB. Saat itu
di ruangan cuma ada gw, dia dan OB petugas
fotokopi.
“Iya."
“Leo,” dia menyodorkan tangannya. “Leo
Parlindungan. Divisi Purchasing.”
“Ari, General Affair.” gw menjabat
tangannya.
“Dengar-dengar kau datang dari jauh ya?”
lanjutnya dengan logat Batak yg kental.
“Kalimantan.”
“Oouwh,” dia mengangguk terkejut.
“Kenapa jauh-jauh kemari? Di Kalimantan sudah
tak ada pekerjaan?”
“Ada kok. Cuma pengen aja merantau ke
Jawa.”
Kami lalu ngobrol ringan sambil nunggu
kopian selesai.
“Eh, aku cuma kasihtau. Kau hai-hatilah
sama bos kau yg botak itu.”
“Pak Agus? Kenapa?”
“Ya pokoknya hati-hatilah. Sekali salah,
bisa habis kau dimarahi. Serem!”
“Waah...makasih infonya,” gw mengambil
kertas gw lalu berjalan keluar. Di pintu gw
sempat berpapasan dengan seorang wanita,
rekan kerja juga. Dia orang lama.
“Halo Lisa Parlindungan...” sempat
terdengar suara Leo menyambut cewek yg baru
masuk tadi.
“Jangan sembarangan ganti nama orang
ya!” sahut si cewek. Kemudian disusul adu mulut
dari keduanya yg terdengar sampai beberapa
meter dari ruang fotokopi.
Bodo amat ah. Gw bergegas ke meja gw.
Melanjutkan kerjaan, tapi mendadak malah
kepikiran kejadian semalam. Yg nangis
itu....wanita di kamar seberang gw? Kan
keliatannya dia murung banget kayak yg depresi
berat. Pasti lagi punya masalah terus nangis
malem-malem. Tapi kalau mau nangis kenapa
mesti nunggu malem dulu? Kenapa nggak siang
aja? Mungkin malu kalau sampe kedengaran
orang lain. Nah kalo malu, ngapain juga nangis
di depan kamar orang? Duh gw malah jadi
ngelantur sendiri.
Gw harus cari tau. Sepulang kerja sorenya
gw keluar kamar dengan maksud nyari teman.
Kebetulan penghuni kamar sebelah gw yg
kemarin berisik, lagi nongkrong di depan pintu
kamarnya sambil genjrang-genjreng gitar.
“Wah orang baru ya Mas?” laki-laki dengan
cukuran rambut cepak nyaris botak menyapa gw
ramah.
Gw duduk di depan pintu kamar.
“Ari.” gw memperkenalkan diri.
“Indra. Udah berapa hari di sini? Kok gw
baru liat toh?” lanjutnya dengan logat Jawa
kental.
“Baru kemaren kok.”
Indra mengangguk pelan.
“Kerja di mana?”
“Di S***P.”
“Kalo gw di T****a. Udah lumayan lama sih,
udah dapet dua tahunan lah ngekos di sini.”
“Waah betah juga yah sama kosan ini.”
Dan kami pun terlibat obrolan ringan
selama beberapa lama. Gw sendiri ngerasa si
Indra ini orangnya baik juga. Ramah, khas orang
Jawa kebanyakan. Dan nggak sungkan sama
orang baru kayak gw.
“Eh, Dra..lo tau cewek penghuni kamer
depan ini?” gw menunjuk pintu kamar yg tertutup
di seberang gw.
“Cewek?” Indra nampak berpikir sebentar.
“Enggak ah. Setau gw kamer ini kosong..”
“Masa sih, tapi kemaren gw ketemu
penghuninya kok. Dia lagi duduk gitu di situ,” gw
menunjuk lagi pintu kamarnya.
“Yg bener? Tapi nggak tau juga sih, gw
jarang keluar kamer soalnya. Balik kerja
langsung molor. Nggak begitu sering keluar.
Temen-temen yg gw kenal kebanyakan di lantai
satu. Di atas sini cuma lo doang yg ngajakin gw
ngobrol.”
“Tapi masa samasekali nggak tau? Cuma
dua meter jaraknya kamer lo sama kamer dia.”
“Serius gw. Emang kenapa?”
“Mmh nggak papa juga sih...”
“Lo liat setan kali?”
“Ah, ngawur lo.”Heyy, apa dia semisterius itu? Yg udah di
sini dua tahun aja nggak tau! Gw jadi penasaran.
“Terakhir gw tau yg nempatin kamer ini
cowok, karyawan pabrik. Tapi itu udah lama
banget hampir setaun yg lalu kalo nggak salah.
Kalo lo mau tau, tanya aja sama Pa Haji. Dia kan
yg punya kosan ini.”
“Wahh nggak perlu segitunya deh.” gw
nyengir malu.
Hmm nggak mungkin juga kayaknya kalo
sekarang gw cerita ke Indra soal kejadian
semalem. Pasti dia makin yakin yg gw temui
kemaren itu hantu. Tapi gw jadi mulai penasaran
ya sama cewek berkaos kaki hitam ini. Sekilas
gw liat kayaknya dia lumayan cakep juga.
Hehehehe.
Baiklah, gw akan mencoba mencari tahu.
Kalo ketemu dia lagi, gw akan ajak kenalan.
To be continue...